single-bn

Pawai Ogoh-Ogoh Warnai Banyuwangi: Ribuan Umat Hindu Rayakan Nyepi dengan Semarak Budaya dan Toleransi

Admin - Minggu, 23 Maret 2025 03:19 WIB

Ribuan umat Hindu Banyuwangi menggelar pawai budaya dalam rangka menyambut perayaan Hari Raya Nyepi tahun baru Saka 1947, Sabtu (22/3/2035) di RTH Karetan, Kecamatan Purwoharjo
Ribuan umat Hindu Banyuwangi menggelar pawai budaya dalam rangka menyambut perayaan Hari Raya Nyepi tahun baru Saka 1947, Sabtu (22/3/2035) di RTH Karetan, Kecamatan Purwoharjo

Banyuwangi | Panggung budaya meriah tampak saat ribuan umat Hindu menggelar pawai Ogoh-ogoh dalam rangka menyambut Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1947 Sabtu (22/3/2035) di Banyuwangi. Pawai yang dipusatkan di sekitar Ruang Terbuka Hijau (RTH) Karetan, Kecamatan Purwoharjo ini bukan hanya sekadar atraksi keagamaan, tetapi juga perayaan keberagaman yang memukau warga dari berbagai latar belakang suku dan agama.

Daya tarik utama pawai adalah puluhan Ogoh-ogoh beraneka rupa dan ukuran yang diarak dengan penuh semangat oleh para pemuda Hindu (yowana). Patung-patung raksasa tersebut merupakan representasi Bhuta Kala – energi negatif dalam diri manusia dan alam semesta yang harus dinetralisir sebelum memasuki kesucian Nyepi.

Kreasi Ogoh-ogoh yang ditampilkan tidak hanya menyeramkan, tetapi juga sarat dengan imajinasi. Ada figur raksasa bertaring tajam, monster mitologis dengan mata besar, hingga karakter-karakter unik yang mencerminkan kreativitas tinggi para pemuda dari berbagai Sekaa Teruna Teruni (STT) di Banyuwangi. Semua patung itu dibuat sepenuhnya oleh tangan-tangan terampil mereka, menjadikan pawai ini bukti nyata kekayaan seni lokal.

Iringan Gamelan Bali yang bertalu-talu mengiringi setiap langkah peserta pawai, menciptakan harmoni suara yang memukau. Musik tradisional ini menambah semarak suasana, membuat siapa saja yang menyaksikan takjub akan keindahan budaya Hindu Bali yang hidup subur di Bumi Blambangan.

Pawai ini bukan hanya milik umat Hindu, tetapi juga menjadi momen yang dinikmati oleh seluruh masyarakat Banyuwangi. Warga dari berbagai latar belakang suku dan agama memadati sepanjang rute pawai, mengabadikan momen melalui kamera ponsel mereka, dan bahkan ikut bergoyang mengikuti irama gamelan.

Wakil Bupati Banyuwangi, Mujiono, yang turut menyaksikan pawai, menyampaikan apresiasinya terhadap acara ini. “Pawai Ogoh-ogoh bukan sekadar atraksi budaya, tetapi juga cerminan kekayaan tradisi dan semangat toleransi yang hidup subur di Banyuwangi. Ini adalah aset berharga yang harus kita jaga bersama,” katanya.

Mujiono menambahkan bahwa Pemkab Banyuwangi terus mendukung kegiatan keagamaan dan kebudayaan seluruh masyarakat sebagai bagian dari upaya merawat kebinekaan dan memperkuat persatuan. “Meskipun bersamaan dengan bulan puasa, pawai ini tetap berjalan. Ini menunjukkan bahwa toleransi antarumat di Banyuwangi berjalan dengan baik, saling menghormati sesama,” tambahnya.

Menurut Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Banyuwangi, Sardiyanto, pawai Ogoh-ogoh ini merupakan bagian dari upacara Tawur Kesanga, ritual sakral untuk menetralisir energi negatif sebelum memasuki kesucian Nyepi.

“Setelah diarak, Ogoh-ogoh ini akan dilebur atau dibakar sebagai simbol pembersihan diri dan alam semesta. Proses ini penting untuk membersihkan segala hal buruk agar kita bisa memulai tahun baru dengan hati yang bersih,” terangnya.

Pawai ini diikuti oleh 3.000 umat Hindu yang tersebar di Kecamatan Purwoharjo, Bangorejo, serta Kampung Bali di Patoman. Mereka bersatu padu dalam semangat gotong royong untuk memastikan acara ini berlangsung lancar dan meriah.

Setelah pawai usai, umat Hindu di Banyuwangi akan melanjutkan persiapan menyambut Hari Suci Nyepi pada Senin, 29 Maret 2025. Puncak perayaan Nyepi akan diisi dengan pelaksanaan Catur Brata Penyepian, yakni, Amati Geni – Tidak menyalakan api atau cahaya, Amati Karya – Tidak bekerja, Amati Lelungan – Tidak bepergian dan Amati Lelanguan – Tidak bersenang-senang.

    Catur Brata Penyepian adalah momentum introspeksi diri bagi umat Hindu, di mana mereka menenangkan pikiran dan tubuh untuk merefleksikan kehidupan yang lebih baik di tahun baru.

    Pawai Ogoh-ogoh ini bukan hanya tentang budaya dan agama, tetapi juga tentang toleransi dan persatuan. Di tengah keragaman suku, agama, dan budaya, Banyuwangi membuktikan bahwa harmoni bisa tercipta jika semua pihak saling menghormati dan mendukung satu sama lain.

    Seorang warga non-Hindu, Ahmad Fauzi, yang hadir menyaksikan pawai, mengungkapkan kekagumannya. “Saya sangat menikmati pawai ini. Selain menarik, acara ini juga mengajarkan kita arti toleransi. Meski berbeda keyakinan, kita bisa bersama-sama merayakan keindahan budaya,” ujarnya.

    Dengan semangat kebersamaan seperti ini, Banyuwangi terus membuktikan diri sebagai miniatur Indonesia yang harmonis, di mana tradisi dan nilai-nilai kebhinekaan hidup berdampingan secara damai.

    Tag Terkait

    Bagikan

    Rekomendasi

    Terkini

    Iklan Kiri
    Iklan Kiri